ok

?>
RSS

Friday, June 17, 2011

Momentum Recehan

KETIKA Hollywood menghentikan peredaran filmnya ke Indonesia, saya sungguh gembira. Saya membayangkan sebuah momentum. Itulah saatnya film-film kita mengambil alih posisi mereka. Tetapi ketika sepeningal mereka, film kita sebagian besar hanya berisi kuntilanak, pocong dan suster ngesot, jelas sudah, bahwa momentum itu hilang.

Film kita belum memiliki modal kebudayaan untuk menyambut momentum. Kesanggupan kita hanyalah menerima momentum recehannya saja. Jika ada mal dibangun kita bukan bagian dari konsorsium, tetapi sekadar penyedia layanan satpam dan tukang parkir saja. Jelas itu bukan momentum, tetapi sekadar buih dari ombak besar.

Tetapi kegembiraan itu belum saya cabut. Karena persoalan Indonesia pasti bukan cuma film. Saya masih mencoba gembira karena inilah saatnya berhenti menonton film Hollywood.

Saya sendiri penggemar film dan saya paham mutu mereka. Saya hampir tidak bisa tidak menonton film-film yang disutradarai Francis Coppolla.

Saya juga penganggum James Cameron yang jenius itu. Saking percaya dengan mutu mereka, saat menonton film cukup dengan melihat siapa sutradaranya, bukan bintangnya. Siapa pun pemainnya akan menjadi bintang di tangan mereka. Di Indonesia, Eros Djarot memiliki kemampuan ini. Sayang membuat film hanya selingan baginya.

Menonton film-film yang bagus semacam itu sangat berbahaya untuk kita. Dalam hal apa? Dalam hal waktu. Ia membuat kita terancam akan menghabiskan waktu yang berharga ini cuma untuk menonton mereka. Cuma penonton. Saking asyiknya, saking kagumnya, sampai kita lupa menggeser kedudukan agar menjadi pihak yang ditonton.

Asyik, menjadi tua, lalu mati, tetap saja sebagai penonton. Jika urut-urutan itu yang benar terjadi, jika sebuah generasi tumbuh, tua dan mati hanya dengan kasta penonton, seluruh bangsa itu akan menjadi bangsa penonton. Ini pasti berbahaya. Maka hanya dengan berhenti menonton mereka, saya bayangkan akan menjadi momentum untuk membalik kesadaran ini. Apa pun jenis kerugian bangsa ini rasanya boleh dianggap kecil saja jika bandingannya adalah kehilangan waktu. Dan seluruh waktu kita selama ini hanya habis diperdaya cuma untuk menonton.

Lalu waktu yang telah mereka rebut itu, kita rebut kembali. Kita jadi punya waktu untuk memartabatkan seluruh urusan di negeri ini. Soal film itu bisa diurus kemudian dan itu menjadi soal mudah jika kita telah sanggup mengurus politik, mengurus petani, mengurus lahan-lahan tidur yang melimpah ini. Bagaimana mungkin ada pengangguran yang banyak bisa berdampingan dengan lahan tidur yang banyak? Bagaimana mungkin kawasan dengan 72 persen lautan bisa mengimpor garam? Bagaimana mungkin beras dan buah-buahan dipenuhi produk Thailand, negara yang lebih kecil dan setiap kali bongkar pasang pemerintahan? Mungkin saja, karena seluruh kemungkinannya memang kita buka. Selama ini ada jenis kehilangan yang amat besar dari bangsa Indonesia ini, yakni waktu untuk memartabatkan dirinya sendiri.

Kini, momentum itu ternyata, hilang lagi. Karena film-film Hollywood akan masuk lagi dan kita akan menonton lagi. Sebuah tontonan yang makin hari makin memukau. Kesenian yang dikemas dengan integritas seorang profesional dan sangat layak dikagumi. Sangat layak mengagumi Harry Potter yang cuma dongeng tetapi sihirnya benar-benar bekerja hingga ke dunia nyata. Persoalannya, selalu cuma menjadi penonton itulah peran kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.